Parasocial Branding, Hubungan “Satu Arah” Dalam Berbisnis

parasocial branding
Foto ilustrasi dari Pexels

Apa Anda pernah merasa seperti dekat dengan brand tertentu, meskipun sebenarnya tidak pernah benar-benar berinteraksi langsung?

Misalnya, seperti merasa “kenal” dengan admin akun IG @Sribu ketika bertukar komentar, atau tertawa sendiri membaca caption post TikTok dari sebuah brand yang terasa sangat relatable?

Jika iya, Anda sedang mengalami apa yang disebut sebagai efek parasocial—dan ketika strategi ini diterapkan oleh sebuah bisnis dalam praktik branding mereka, hal ini disebut parasocial branding.

Di tengah persaingan bisnis di dunia digital yang makin padat, pendekatan ini bukan lagi sekadar gaya komunikasi saja, tapi merupakan strategi branding yang efektif untuk menciptakan sebuah rasa kedekatan emosional.

Lewat konten yang personal, lucu, (kadang) absurd, dan terasa sangat manusiawi, sebuah brand akan bisa menciptakan hubungan satu arah yang kuat, di mana audiens merasa dekat, meskipun belum benar-benar “kenal.

Apa Itu Parasocial Branding?

jasa beli followers tiktok
Ingin menambah followers TikTok secara instan & permanen? Sribuin Aja!

Sederhananya, parasocial branding adalah strategi pemasaran yang membangun hubungan emosional satu arah antara brand dan audiens.

Konsep ini diadaptasi dari istilah psikologi “parasocial relationship“—hubungan yang dirasakan seseorang secara nyata terhadap tokoh publik (seperti selebriti, YouTuber, atau influencer), meski tidak ada interaksi timbal balik dalam bentuk apapun.

Ketika sebuah brand menerapkan strategi ini, mereka menciptakan persepsi seolah-olah audiens sedang berkomunikasi langsung dengan “sosok” atau “kepribadian” brand tersebut—padahal kenyataannya, komunikasi hanya terjadi satu arah.

Namun justru karena ilusi inilah, strategi ini bisa membuat audiens:

  • Merasa didengar dan diperhatikan
  • Lebih loyal terhadap brand, dan
  • Lebih mudah menerima pesan promosi karena dibalut interaksi dan perasaan “akrab”

Mengapa Strategi Ini Relevan di Era Digital?

pengguna mobile phone
Foto ilustrasi dari Pexels

Dalam dunia digital saat ini, audiens selalu dibanjiri iklan, konten promosi, dan pesan yang bersifat formal.

Ini karena banyak brand berlomba-lomba ingin terlihat profesional, tapi di sisi lain justru gagal membangun koneksi emosional.

(Studi dari Edelman menunjukkan bahwa 81% konsumen global harus percaya dulu terhadap sebuah brand sebelum akan membeli produk dari mereka.)

Sementara itu, pendekatan yang terasa personal serta “manusiawi” terbukti meningkatkan kepercayaan audiens dan calon konsumen.

Ketika audiens merasa dekat dengan brand Anda secara emosional—meski secara logika sadar bahwa hubungan itu “tidak nyata”—mereka akan lebih terbuka terhadap semua ajakan/pesan.

Ini juga menjelaskan mengapa konten dengan nada kasual, storytelling, atau candaan receh sering kali memiliki engagement lebih tinggi dibanding konten formal dan kaku.

(Baca juga: Menangkan Hati Pelanggan Dengan Teknik Storytelling)

Karakteristik Parasocial Branding yang Efektif

pengguna android
Foto ilustrasi dari Pexels

Agar strategi ini berhasil, Anda perlu memunculkan karakter yang kuat dan konsisten dalam strategi komunikasi brand, seperti:

1. Gaya Bicara yang Konsisten dan Natural

Brand sebaiknya tidak berusaha “bersuara” sebagai sebuah perusahaan, melainkan seperti manusia.

Nada bicara bisa santai, lucu, atau bahkan sensitif—sesuai dengan karakter/image brand yang ingin dibangun.

2. Penggunaan Bahasa Personal dan Akrab

Alih-alih menggunakan kalimat formal seperti “Kami menawarkan…”, Anda bisa gunakan “Coba deh liat ini dulu, siapa tahu cocok?”.

3. Menunjukkan Cerita Internal

Konten yang membagikan behind-the-scenes, opini admin, atau kesalahan kecil dalam operasi bisnis justru bisa memperkuat kedekatan, karena terasa lebih jujur dan otentik.

4. Responsif terhadap Audiens

Meski interaksi sebenarnya hanya terjadi dari satu pihak, Anda harus tetap menanggapi komentar, repost user-generated content, atau menyapa followers secara rutin.

Ini akan menciptakan “ilusi” komunikasi dua arah.

jasa beli followers tiktok
Ingin menambah followers TikTok secara instan & permanen? Sribuin Aja!

Contoh Praktik Nyata

Bayangkan sebuah brand minuman sehat yang aktif membagikan cerita setiap hari lewat Instagram Story.

Di sana, mereka tidak hanya berbagi tentang produk, tapi juga bercerita tentang admin yang kesiangan, playlist musik yang diputar saat sedang lembur, hingga polling iseng tentang varian produk favorit.

Tanpa sadar, audiens mulai mengikuti akun tersebut bukan karena memiliki minat pada minuman sehatnya saja, tetapi karena merasa kenal dengan “orang” di balik brand tersebut.

minuman jeruk sehat
Foto ilustrasi dari Pexels

Atau, sebuah merek perlengkapan kerja yang di LinkedIn tidak hanya selalu membagikan artikel serius dan berat, tapi juga menulis caption yang bergaya personal, menyapa audiens dengan kalimat seperti “Kamu hari ini capek juga, kan? Ini memang wajar.”

Gaya komunikasi seperti ini akan membuat audiens merasa dihargai sebagai seorang manusia, bukan sekedar menjadi target iklan dan promosi.

Pada contoh-contoh di atas, kita bisa lihat bahwa yang membedakan brand ini dengan kompetisi bukanlah hanya kualitas produknya, tapi cara mereka hadir di ruang digital, seperti teman lama yang selalu asyik untuk diajak berbincang.

Risiko dan Tantangan Parasocial Branding

Meski efektif, strategi ini juga tentu memiliki tantangan:

  • Jika tidak konsisten, bisa terasa “palsu”: Audiens hari ini sudah sangat peka terhadap brand yang hanya berpura-pura “akrab” saat butuh menjual sesuatu.
  • Tidak cocok untuk semua industri: Beberapa sektor–seperti keuangan atau kesehatan–mungkin perlu pendekatan yang menunjukkan kredibilitas dan terlihat profesional.
  • Menuntut sumber daya kreatif yang tinggi: Menjaga karakter brand agar tetap “hidup” dan menarik dari waktu ke waktu bukan hal yang mudah.

Namun jika dilakukan dengan niat membangun relasi jangka panjang—bukan sekadar tren sesaat—strategi ini bisa menjadi investasi yang sangat kuat.

Kesimpulan

Di era digital ini, hubungan dan ikatan emosional bisa menjadi “penjual” kuat dalam berbisnis.

Produk bisa mirip, harga bisa bersaing, tapi suara dan kepribadian sebuah brand tidak bisa ditiru begitu saja.

Parasocial branding menawarkan jalan baru bagi bisnis untuk tampil lebih manusiawi, menyentuh sisi psikologis audiens, dan membangun loyalitas meski tidak pernah bertatap muka.

Jika dilakukan dengan jujur, konsisten, dan penuh empati, hubungan satu arah ini bisa menjadi fondasi hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan.

Karena pada akhirnya, brand yang “dikenal” secara personal akan jauh lebih diingat daripada brand besar yang hanya sekedar sering muncul.

Jadi, sudahkah brand Anda punya kepribadian yang bisa diajak ngobrol?

(Jangan lupa subscribe ke Blog Sribu dan follow akun Instagram Sribu supaya tidak ketinggalan informasi menarik lainnya terkait dunia digital marketing, SEO, dan tren pasar terkini.)

Ryan Gondokusumo
Ryan adalah CEO dan Founder dari Sribu.com. 11 tahun pengalaman di management, product development, strategic dan digital marketing